Beberapa dasawarsa terakhir ini gelombang arus LGBTQ semakin kuat bukan hanya di negara-negara barat tetapi juga di berbagai benua termasuk Asia dan tidak luput Indonesia. Teristimewa setelah WHO menghapus LGBTQ dari International Classification of Deseases (ICD) pada 17 Mei 1992.
Jauh sebelumnya organisasi psikiater Amerika yakni American Physiatric Assosiation (APA) menghapus homoseks dari DSM 3 pada tahun 1974, yang pada intinya homoseks tidak lagi dianggap sebagai gangguan kejiwaan.
Tidak lama setelah WHO menghapus LGBTQ dari ICD, Belanda merupakan negara pertama yang melegalkan pernikahan Same Sex Marriage (SSM) yakni pada tahun 2001. Saat ini lebih dari 30 negara telah melegalkan pernikahan sejenis.
Dalam era informasi yang sering juga disebut era digital ini, tidak dapat disangkal apa yang terjadi pada belahan bumi yang lain dengan begitu cepat dapat merambat dan ditiru oleh negara-negara lain berkat teknologi informasi digital yang canggih.
Apa yang terjadi di lebih dari 30 negara tersebut , akan berdampak kuat bagi Indonesia secara umum dan gereja secara khusus. Walaupun secara de jure LGBTQ tidak dibenarkan di Indonesia, namun secara de facto LGBTQ telah banyak ditemukan di Indonesia.
Respon masyarakat dan gereja di Indonesia masih terdapat pro dan kontra. Hal-hal apa sajakah yang mempengaruhi seseorang menjadi LGBTQ? Apa kata Alkitab tentang LGBTQ, lalu bagaimana sikap gereja seharusnya?
KEBERADAAN LGBTQ di INDONESIA
Kondisi LGBTQ di Indonesia mulai terlihat pergerakannya di tahun 1960-an, bahkan ada yang menyebut sudah ada sejak tahun 1920-an, namun umumnya berpendapat di tahun 60-an, lalu berkembang di tahun 80-an, 90-an dan meledak pada era milenium 2000 hingga sekarang. LGBTQ di Indonesia memiliki 2 jaringan nasional, 119 organisasi di 28 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia.1
Para aktivis LGBTQ terus berusaha dan berjuang secara sistematis, terstruktur dan masif untuk mengusahakan agar LGBTQ diterima secara legal. Dengan mengedepankan HAM mereka memperjuangkan agar mereka diakui keberadaannya.
Pada tahun 1983 Direktorat Kesehatan Jiwa di Kementrian Kesehatan Republik Indonesia telah mengubah klasifikasi homoseksualitas dalam Pedoman Pelaksanaan dan Klasifikasi Gangguan Jiwa (PPDGJ) menjadi homoseksualitas ego distonik (pribadi yang memiliki orientasi atau ketertarikan seksual yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, sehingga mengakibatkan kegelisahan dan hasrat untuk mengubah orientasi seksualnya) dan ego sintonik (mereka yang memiliki kelainan gender tetapi sudah merasa nyaman dengan hal tersebut).
Bahkan pada tahun 1993 istilah homoseksualitas tidak ditemukan lagi, hanya dipakai istilah kelainan gender, bukan sebagai gangguan kejiwaan.2
Pergerakan LGBTQ di Indonesia dapat diklasifikasikan kepada dua entitas yang berbeda:3
a. Pertama: LGBTQ termasuk “penyakit” gangguan jiwa, atau penyimpangan orientasi seksual yang melekat (dimiliki) seseorang sebagai individu. Penyakit tersebut dapat disebabkan faktor biologis dan sosiologis dan dapat menular kepada orang lain.
Pada entitas pertama ini LGBTQ terbagi kepada dua identitas yakni pertama mereka yang menutupi (menyembunyikan) identitasnya sebagai LGBTQ sehingga tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Kedua ialah mereka yang berani membuka identitasnya (out come) kepada orang lain dan mengharap bantuan orang lain (diluar dirinya) untuk membantu menyembuhkannya.
b. Kedua: LGBTQ sebagai sebuah komunitas satu kelompok, atau juga disebut satu organisasi yang memiliki visi, misi dan aktifitas atau gerakan (movement) tertentu. Pada level entitas kedua inilah yang sekarang marak menjadi perdebatan di tengah masyarakat Indonesia, apakah gerakan kelompok LGBTQ itu dapat dilegalkan atau tidak.
Sampai saat ini masih terjadi perdebatan antara pro dan kontra dalam masyarakat, baik secara individu maupun komunitas, demikian juga para politisi serta gereja-gereja di Indonesia.
_______________________________________
1 USAID-UNDP, Hidup sebagai LGBTdi Asia: Laporan Nasional Indonesia (Jakarta: USAID-UNDIP, 2014), hlm. 12
2 Ibid, hlm 27.
3 Ibid
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB LGBTQ
A. Faktor Pola Asuh dalam Keluarga
Faktor pengasuhan dalam keluarga sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan satu individu yang dimulai dari bayi sampai ia bertumbuh dewasa. Perkembangan yang dimaksud mencakup perkembangan tubuh, jiwa dan roh seorang anak. Karena itu faktor parenting sangat penting dalam hal ini.
Seorang anak bersifat meniru apa yang sering dilihatnya. Menurut Saul McLeod, anak mengamati model yang memberikan contoh perilaku maskulin atau feminin.4 Zusy Aryanti menjelaskan anak hanya meniru tanpa memikirkan objek tiru berperilaku maskulin atau feminin yang sesuai gender atau tidak.5 Bila seorang wanita melihat ayahnya sering melakukan kekerasan kepada ibunya, maka ia berpotensi menjadi seorang lesbi karena emosinya telah terluka sejak kecil saat melihat laki-laki yang keras dan kejam. Sebaliknya bila seorang pria melihat ibunya yang begitu dominan dan melihat figur seorang pria, maka anak tersebut dapat kehilangan kepercayaan akan dirinya sebagai pria.
Setiap orang tua hendaknya memberikan contoh yang baik kepada anak. Dalam hal inilah peran pola asuh dalam keluarga sangat penting bahkan dapat dikatakan menentukan. Sejak kecil orang tua seharusnya telah memberikan arahan secara bertahap untuk setiap anak dapat mengerti dan menerima orientasi gender yang dimiliki sesuai dengan jenis kelamin yang dimilikinya, tidak mengikuti orientasi seksual yang dirasakan.
B. Faktor Lingkungkan
Faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi, seperti sekolah, lingkungan pergaulan, teman bermain, termasuk lingkungan keluarga. Faktor lingkungan keluarga sangat besar pengaruhnya, karena seorang anak mulai belajar semuanya dimulai dari rumah yakni melalui keluarga.
Seorang anak belajar berbicara, bersosialisasi, berbagi, menghargai orang lain dan menerima diri sendiri, semuanya dimulai dari rumah. Bila seorang anak tidak mendapat pengajaran yang baik dalam keluarga dapat berakibat fatal bagi anak. Hal inilah yang terjadi pada seorang anak bungsu dari 11 bersaudara yang kurang mendapat perhatian dari orang tuanya, yang dilahirkan sebagai anak laki-laki, tetapi di usia 21 tahun ia melakukan transgender, sebagaimana dikisahkan oleh Jonathan Than:
“Sejak kecil saya memiliki perasaan yang sangat sensitif, lembut, sehingga saya mudah sedih dan menangis apabila saya merasa tertekan maupun mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Sejak kecil dalam keseharian saya lebih menyukai kegiatan yang halus, bukan aktifitas permainan anak laki-laki umumnya. Ini mungkin karena saya banyak menghabiskan waktu bersama kakak-kakak perempuan saya. Saya sering sekali mengikuti kegiatan yang mereka lakukan bersama teman-teman mereka. Secara tidak langsung ini membuat saya tertarik dengan hal-hal yang anak perempuan lakukan. Terlebih lagi setiap kali saya diajak bepergian kakak-kakak perempuan saya, teman-temannya sering memuji wajah saya yang halus seperti anak perempuan. Ini membut saya merasa diakui dan lebih diterima sebagai perempuan.
Perlakuan-perlakuan seperti ini secara tidak langsung membangun konsep diri yang salah tentang bagaimana saya memandang identitas diri saya sendiri. Saya merasa lebih nyaman berada di antara para wanita ketimbang bergaul bersama-sama dengan anak laki-laki. Lama-kelamaan hal ini membuat saya semakin tertarik dengan baju-baju wanita dan gaya berpakaian wanita. Tetapi kala itu masih hanya sebatas tertarik saja, dalam keseharian saya masih tampil sebagai anak laki-laki.
Inilah pentingnya seorang anak harus diperlakukan sebagaimana identitas dirinya. Jika ia terlahir sebagai anak laki-laki, maka ia harus diperlakukan sebagai anak laki-laki, diasuh, dan dibesarkan sebagai seorang anak laki-laki. Demikian pula dengan wanita. Proses perlakuan dan pengasuhan yang tidak sesuai sejak belia akan membentuk pondasi identitas diri yang tidak tepat pula hingga dewasa. Setiap orang tua dan keluarga perlu memperhatikan bagaimana kita memperlakukan anak kita dan bagaimana proses penanaman identitas diri anak-anak kita semua.”6
_______________________________________
4 Zusy Aryanti, Jurnal LGBT: Faktor Risiko Terjadinya LGBT Pada Anak dan Remaja (STAIN Jurai Siwo Metro, 2016) hlm. 47
5 Ibid
C. Faktor Psikologis
Faktor psikologis juga memiliki peran yang besar dalam mempengaruhi seseorang menjadi LGBTQ. Antara lain ada beberapa penyebab bila ditinjau dari aspek psikologi:7
1. Tidak Percaya Tuhan.
2. Tidak mendapat perhatian keluarga.
3. Trauma masa kecil.
4. Pengetahuan yang kurang.
5. Ejekan saat kecil.
6. Kekaguman yang berlebihan.
7. Kesalahan pergaulan.
8. Sering menonton film porno.
9. Ingin mendapat pengakuan.
10. Tidak dapat mengendalikan hawa nafsu.
11. Faktor ekonomi.
12. Sikap kapitalisme.
13. Tidak dapat mengendalikan hawa nafsu.
Lebih jauh J. Verkuyl menjelaskan: ada orang-orang tertentu kecenderungan homoseksual itu adalah akibat dari suatu perkembangan psikis yang tergangggu. Mungkin terjadi bahwa kesalahan-kesalahan yang dibuat dalam pendidikan, pengalaman dalam masyarakat, gangguan-gangguan komunikasi dalam pertalian-pertalian dengan sekitar, menimbulkan kecenderungan homoseksual dan pola-pola kelakuan.8
Karena itu betapa pentingnya menciptakan keluarga yang sehat, dimana setiap anak dapat merasa aman, merasa diterima bukan karena kelebihannya, tetapi diterima sebagaimana adanya. Kebutuhan anak yang terutama bukanlah fasilitas, tetapi kasih dari dari kedua orang tuanya.
D. Faktor Biologis
Para aktivis LGBTQ memperjuangkan legalitas mereka dengan mengedepankan HAM dan faktor gen.
Argumentasi yang diangkat adalah bahwa keberadaan mereka bukan pilihan mereka, melainkan karena faktor gen membuat mereka demikian. Benarkah argumentasi ini?
1. Aktivitas gen-gen tidak hanya untuk agresi namun sejumlah luas ciri-ciri lain. Salah satu pengaruh yang dominan kelihatannya adalah seberapa banyak cinta yang mengasuh atau pengabaian yang dingin yang diterima oleh seorang anak. Bagaimana orang tua kita memperlakukan kita telah meninggalkan cetak genetiknya di atas kelompok DNA yang mereka turunkan kepada kita.
Dan bagaimana kita memperlakukan anak-anak kita, pada gilirannya, akan menentukan tingkat aktivitas dalam gen-gen mereka. Temuan ini menunjukkan bahwa tindakan-tindakan mengasuh yang kecil-kecil dari pengasuhan oleh orang tua bisa berarti untuk jangka waktu yang lama dan bahwa relasi dengan orang lain berperan memandu rancang ulang otak yang terus berlangsung.9
2. Namun sampai saat ini belum ada penelitian yang mensahkan bahwa penyebab LGBTQ ada faktor biologis ataupun karena faktor gen. Kalaupun ada literatur mendukung ke arah faktor gen, hal tersebut baru merupakan satu dugaan belum merupakan satu aksioma yang telah diterima pihak-pihak yang berkompetensi. Dalam dunia medis belum ada penelitian secara scientific bahwa LGBTQ disebabkan karena faktor gen.10
3. Dalam penelitian Gary R. Collins seorang professor di Trinity Evangelical Divinity School menemukan 4 (empat) penyebab:11
· Pertama : Parent child relationship
· Kedua : Other family relationship
· Ketiga : Fear
· Keempat: Willful choice of homosexul actions
____________________________________
6 Jonathan Tan, Reborn My True Identity (Masterpiece Creative Publishing), hlm. 41-47.
7 12 Penyebab LGBT Menurut Psikologi, http://dosenpsikologi.com/penyebab-lgbt-menurut-psikologi
8 J.Verkuyl, Etika Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982), hlm. 139
9 Daniel Goleman, Social Intelligence (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2015), hlm. 191
10 Andik Wijaya, Seminar LGBT, Divisi Pengajaran & Penggembalaan 2, GBI Jln.Gatot Subroto Jakarta, 13 Maret 2021
11 Gary R. Collins, Christian Counseling (Waco Texas: Word Books, 1983), p. 319-320
Hubungan yang baik dalam keluarga merupakan faktor penunjang yang sangat berperan dalam menentukan suasana keluarga yang menyenangkan. Keluarga yang menyenangkan akan menanamkan nilai-nilai yang sehat, termasuk identitas gender yang dimiliki oleh setiap anak. Berikut adalah ciri-ciri keluarga yang menyenangkan: adanya kehangatan, kasih sayang, keakraban, konsisten, mendukung, penuh pemahaman, membesarkan hati, komunikasi terbuka, boleh merasa, menerima, penuh perhatian, penuh rasa hormat, bekerja sama, waktu yang bermutu, humor, bersenang-senang, kebahagiaan, harga diri yang tinggi dan kekuatan.12
E. Faktor Kuasa Gelap
Pada umumnya faktor kuasa gelap dapat mempengaruhi dalam berbagai aspek kehidupan manusia seperti dalam aspek rohani, psikologis/mental, fisik, keluarga, keturunan, bahkan sangat mengerikan sampai kepada kekekalan. Dalam Perjanjian Lama secara implisit dinyatakan bahwa saat umat Tuhan tidak menaati firman Tuhan, maka mereka jatuh dalam penyembahan berhala, seperti yang dilakukan oleh raja-raja pada waktu itu. Banyak penyimpangan yang akan terjadi bila umat-Nya telah meninggalkan Tuhan.
Pada masa pemerintahan Raja Rehabeam dalam 1 Raja-Raja 14:21-24 orang Yehuda melakukan apa yang jahat di mata Tuhan. Mereka mendirikan tempat-tempat pengorbanan dan tugu-tugu berhala dan tiang-tiang berhala di setiap bukit yang tinggi, bahkan ada pelacuran bakti di negeri itu.
· Pelacuran bakti/semburit adalah suatu bentuk “prostitusi sakral” biasanya terjadi dalam kultus penyembahan kepada dewa/dewi kesuburan. Bentuk persundalan yang paling berbahaya ialah persundalan yang disetujui oleh agama (‘pelacuran bakti’ atau ‘semburit bakti’), yang merupakan ciri utama dalam kebaktian Kanaan.
Di dalam agama kuno di Kanaan, baik sundal laki-laki maupun sundal perempuan dihubungkan dengan tempat-tempat suci/kuil-kuil penyembahan mereka. Misalnya penyembahan terhadap dewa Baal dan dewi Asyera.
· Dalam agama Baal, dikenal dengan apa yang disebut dengan “pelacur bakti” dan “semburit bakti”. Istilah “Qadesh”, pelacur laki-laki dan “Qadeshah”, pelacur perempuan, adalah orang yang mempersembahkan seluruh hidupnya bagi pelayanan keagamaan.
Istilah “Pelacur bakti” (pelacur dalam kuil) adalah perempuan yang secara khusus melayani kaum laki-laki secara biologis. “Semburit bakti” adalah laki-laki yang ditempatkan dalam kuil yang melayani secara khusus melayani kaum perempuan maupun laki-laki secara biologis.1
Ketika Raja Asa memimpin Yehuda, ia menghancurkan pelacuran bakti dan menjauhkan segala berhala yang dibuat oleh nenek moyangnya (1 Raja-raja 15:12). Jadi jelas sekali bahwa ada hubungan penyembahan berhala, kuasa gelap dengan pelacuran bakti, penyimpangan-penyimpangan dosa seksual; tidak tertutup kemungkinan di dalamnya homoseksual.
Di dalam Perjanjian Lama memang tidak disebutkan langsung bahwa okultisme penyebab homoseksualitas. Tetapi berdasarkan interpretasi berbasis prinsip, maka setiap pribadi yang meninggalkan Tuhan dapat dipengaruhi dan dikuasai okultisme.
Mereka yang terlibat okultisme akan dapat melakukan dosa apapun termasuk segala penyimpangan-penyimpangan seksual.2 Pondsius Takaliuang mengatakan: biasanya orang yang terlibat okultisme, hidup seksualnya tidak normal, matanya penuh zinah dan angan-angan kotor yang menguasai dia. Iblis tidak hanya bapak pembunuh, tapi juga bapak perzinahan.3
“ Idolatry will leads to Adultery ”
_______________________________________
12 Sal Severe, Bagaimana Bersikap Pada Anak Agar Anak Bersikap Baik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 89
1 Sarapan Pagi Biblika Ministry, Pelacuran Bakti & Semburit Bakti, https://www.sarapanpagi.org, pelacuran-bakti-semburit
2 Timothy M. Pierce, Enthroned On Our Praise: An Old Testament Theology of Worship (Nashville: B&H Publishing Group), p.23
3 Pondsius Takaliuang, Antara Kuasa Gelap dan Kuasa Terang (Batu: Dept. Literatur YPPII, 2004)
4 Dave Habelberg, Tafsiran Roma (Bandung: Yayasan kalam Hidup), hlm. 37-38
TIGA TINGKATAN PENYEMBAHAN BERHALA
Dalam Perjanjian Baru, yaitu dalam Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Roma, terlihat urutan penyembahan berhala yang dilakukan dengan tahapan-tahapan berikut:4
1. Mengganti kemuliaan Allah dengan gambaran lain yang fana (Roma 1:21-23)
Mereka menggantikan kemuliaan Allah yang hidup dengan gambaran lain dan menyembah gambaran itu (1:23).
Dengan demikian, tidak memuliakan Dia sebagai Allah (1:21). Murka Allah yang pertama adalah Allah menyerahkan mereka kepada kecemaran sehingga tubuh mereka dicemarkan, atau dalam bahasa aslinya “tidak dihormati” (1:24). Murka ini setimpal dengan dosa mereka karena mereka tidak mau memberikan kemuliaan kepada Allah, sehingga hormat yang layak bagi tubuh mereka hilang.
2. Mengganti kebenaran Allah dengan dusta (Roma 1:25)
Manusia tidak lagi bermaksud menyembah Allah yang hidup karena mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta. Mereka memuja dan menyembah makhluk dan mereka melupakan penciptanya. Ini merupakan tipu daya dosa penyembahan berhala karena bukan hanya rupa yang digantikan melainkan juga kenyataan.
Murka Allah yang kedua pada tahap ini adalah Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan (1:26-27). Disini dengan kata-kata yang jelas sekali firman Allah menjelaskan bahwa keterlibatan kegiatan homoseksual (1:27) adalah penyataan murka Allah. Hukuman ini setimpal karena mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta. Mereka menggantikan yang wajar dengan yang tidak wajar.
3. Tidak mengakui Allah (Roma 1:28-32)
Mereka tidak merasa perlu untuk mengakui Allah; manusia tidak mau berpikir mengenai Allah lagi, Allah sudah tidak masuk dalam pikiran manusia lagi. Murka Allah yang pada tahap ketiga ini adalah Allah menyerahkan mereka kepada pikiran-pikiran yang terkutuk. Terkutuk diterjemaahkan “tidak mengerti”, “tidak layak” atau layak “untuk ditolak” (1:28b-32).
Manusia yang diserahkan kepada pikiran yang demikian akan menyatakan pikiran mereka dengan segala macam tingkah laku yang najis dan jahat dan justru itu yang dicatat oleh rasul Paulus. Daftar dosa yang dicatat dalam Roma 1:29-32 dapat disebut sebagai daftar dosa yang paling lengkap dalam Alkitab.
Era postmodernisme saat ini, dimana tidak ada yang namanya kebenaran absolut dan jika seseorang ingin melakukan/memandang apa yang menyenangkan bagi dirinya maka dia dibenarkan untuk hal tersebut, tanpa disadari telah membuka celah lebar untuk meluasnya penyimpangan seksual. Jika seseorang mau melakukan, misalnya, fashion tertentu yang tidak senonoh, mereka merasa boleh melakukan sejauh terasa baik dan cocok bagi dirinya. Jika Anda melihat mereka dengan nafsu, itu bukan salah mereka, tetapi itu masalah Anda. Bahkan dalam era ini seks bukanlah sesuatu yang kudus/sakral. Setiap orang dapat bebas mengekspresikan keinginan seksual mereka dengan acara bagaimanapun yang menyenangkan bagi mereka. Hal ini sering disebut sebagai sexual revolution.5